KAKEK, MIMPI, DAN BUSUR PANAH


 

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu
            Kata- kata ini diucapkan oleh Arai dalam novel Sang Pemimpi, buku yang sedang kubaca. Ya, akhir-akhir ini Andrea Hirata telah merasuki pikiranku dengan karya-karyanya. Buku-buku ia yang berisi tentang kata-kata “mimpi” dan semangat anak muda itu telah menginspirasi banyak orang untuk percaya pada mimpi, namun tidak bagiku. Bagiku mimpi hanyalah soal yang mudah, terjadi lalu menghilang begitu saja. Seperti mimpi saat tidur di malam atau siang hari saja misalnya, tidak jelas. Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang belum mempunyai tujuan yang jelas dan hidup dengan kesendirian. Saat ini aku berada di kamar, duduk di kursi belajar dengan menggunakan kaus kaki. Cuaca di Jatinangor sedang dingin, kaus kaki dan kopi panas adalah salah satu teman yang baik untuk menghangatkan tubuh ini dari dingin. Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, aku masih membaca buku Sang Pemimpi dan masih dipenuhi rasa ketidakpercayaan kepada mimpi. Mimpi yang dilakukan oleh 2 orang pemuda Gantong untuk kuliah di Eropa diceritakan dalam novel ini berbanding jauh dengan apa yang aku rasakan, mereka berhasil dan aku gagal. Hampir semua keinginan yang ingin aku lakukan hanyalah angan-angan belaka. Hal sederhana seperti ingin bertemu keluarga di kampung pun juga tidak bisa, karena keluarga ku terpisah di masing-masing daerah dan kehilangan hubungan yang baik. Begitu pula dengan teman-teman terdekatku, yang masing-masing sudah ada yang lulus, atau menikah. Inilah yang membuatku sedikit tidak percaya, kurangnya hubungan yang baik, sehingga aku hanya sendiri. Pikiran-pikiran ini terus menyelimutiku hingga 1 jam kemudian aku pun tertidur di kursi dan meja belajar.

**            
Sssssh...

            “Dimana ini?” aku bergumam. Aku tak tahu sedang dimana, tempat ini adalah sebuah sawah yang bagitu luas, dengan suasana yang sunyi, nyaman, dan angin-angin yang sepoi. Aku melihat sekaliling tempat ini dengan sedikit rasa bingung dan takut.“Apa yang terjadi sehingga aku bisa disini?”Perlahan-lahan aku mulai berjalan menyelusuri tempat yang luas ini, yang hanya berisi sawah dan sungai. kemudian di kejauhan aku menemukan seorang pria yang sudah tua duduk di tepi sungai sendirian. Langsung saja aku berlari mendekatinya. Pria ini berpakaian sangat lusuh, burtubuh lemas, dan bermuka pucat. Aku pun bertanya.            

“Kek, boleh saya ikut duduk?” tanyaku            

“Silahkan” jawab pria itu. Aku pun duduk disampingnya.            

“Apakah kakek tau kita sedang berada dimana?” 

 “Kesunyian, kita berada dalam kesunyian. Tempat yang sunyi, tenang, dan nyaman. Melihat sawah yang hijau menguning, suara sungai yang bergemericik, dan matahari yang di sebentar lagi akan terbenam di ufuk barat. Indah bukan?” Dia berbicara namun dengan tatapan yang sedih. Membuatku semakin bingung. Aku pun hanya diam dan mengangguk.            

“Saya sudah berada di tempat ini selama 20 tahun lebih, sendiri dan masih menunggu seseorang.”           

“Hah? Siapa yang kau tunggu kek?”            

“Kebenaran dan kepercayaan, yang masih belum ditemukan.”

“Apa itu kek” Aku menjawab dengan penuh kebingungan

 Ia terdiam, kemudian langsung melihatku dan memegang kepalaku dengan sangat keras. Dengan wajah yang masih pucat ia berkata.“Kau akan menemukan suatu jawaban. Apalagi yang kau tunggu nak?” Lalu ia langsung mendorong tubuh aku dengan keras hingga aku terhempas sangat jauh hingga meninggalkan kakek, sungai dan sawah. Hingga akhirnya pula aku berhenti dan terseret di depan gerbang kampus FIB UNPAD, ya kampus aku ternyata. Orang-orang disekitarku pun kaget melihatku, namun tidak merespon apa-apa, kemudian mereka langsung berbalik meninggalkanku dengan muka yang kecut. Disitu pula aku bertemu teman terdekatku yang hanya tersenyum melihatku. Ini membuat aku semakin bingung dan kesal, apa yang terjadi dan mengapa mereka semua meninggalkanku? Mengapa dia hanya senyum saja?Masih dengan posisi duduk, aku pun memejamkan mata dan berfikir semoga keanehan ini cepat selesai. Beberapa saat kemudian aku pun merasa terguncang dan seperti merasakan kehangatan dan kelembutan disekitar tubuhku. Terdengar suara yang halus dan bagus berada di sampingku.

 

“Nina bobo.. oo nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk.. bobolah bobo anakku sayang...”

 

Nyanyian dan suara yang selama ini belum pernah kudengar kembali. Aku pun mulai membuka mata aku perlahan, ternyata aku melihat ibuku sedang bernyanyi dan ayahku yang tersenyum, sesuatu yang sangat aneh. Aku mulai curiga pada saat aku melihat kalender di dinding pada tahun 2005, dan kamar yang pernah aku tinggali saat kecil. Kemudian aku juga merasakan tubuh aku menjadi lebih kecil dan pendek. Oh tidak! Aku kembali di umur 7 tahun! Keanehan macam apa lagi ini? Namun aku tidak bisa berbicara satu patah kata pun, mulutku seperti terkunci. Hanya melihat kedua orangtuaku dengan wajah yang ketakutan

“Sssh ayo tidur gus..” kata ibu aku sambil memegang tanganku yang kecil.

“Bagus kalo udah gede mau jadi apa?” kata ayahku sambil tersenyum.

“Ah pak anaknya udah mau tidur juga ngapain ditanya-tanya lagi.” Ibu aku sedikit kesal

“Haha.. bapak cuma nanya aja. Oh ya mau jadi apapun itu bapak pasti senang. Jadilah orang yang hebat, banggain bapak sama ibu. Jangan pantang menyerah, jadi laki-laki yang dibanggakan. Kita sendiri entah sampai kapan bisa terus menemanimu, namun ingatlah bahwa kami selalu ada di hati kamu yang paling dalam. Kami menunggumu” Ia berkata sambil mengusap kepala dan dadaku, membuatku sedikit terharu, air mata secara tiba-tiba menetes keluar di keningku. Lalu ibuku langsung mengusap air mataku. Dan bernyanyi.

 

“Cause you'll be in my heart. Yes, you'll be in my heart. From this day on Now and forever more. You'll be in my heart. No matter what they say You'll be here in my heart Always”      

         

Masih terisak tangis dan tidak dapat berbicara, aku pun akhirnya mencoba tidur dan menutup mataku perlahan. Lagu You'll Be In My Heart dari Phill Collins dinyanyikan dengan sangat merdu dan halus oleh ibuku terus terdengar di telingaku dan hingga akhirnya aku pun tertidur.

 

            Beberapa saat kemudian, aku terbangun di kursi panjang, ruangan yang sederhana dengan berwarna dominan coklat kayu, yang membuatku kembali bingung
“Dimana kali ini aku berada?” Kali ini mulutku sudah tidak terkunci. Di depanku ada seorang pria yang sedang duduk memainkan piano, berambut putih dan berpakaian jas ala pemain jazz, yang ternyata setelah aku dekati adalah pria tua yang kutemui saat di sawah. Muka ia senyum berseri, cerah, dan memainkan piano dengan sangat bahagia. Aku pun mulai berkata.

“Apa kau sudah menemukan jawaban nak?” Kata pria tua itu sebelum aku sempat berucap.            
“Saya menemukan beberapa kejadian aneh daritadi, saya bertemu dengan banyak orang, namun mereka cuek, dan teman terdekat saya, ia pun hanya tersenyum pada saat ku terjatuh. Lalu saya kembali ke masa kecil saya dan menjadi seorang anak kecil, melihat ayah dan ibu, mereka berkata seolah-olah mereka sangat menunggu saya kelak.”
  Pria tua itu hanya tersenyum.
            “Apa yang terjadi pada kejadian tadi adalah cerminan kamu nak. Kamu berada dalam masa yang menyenangkan, dikelilingi banyak teman, namun pada akhirnya satu per satu teman akan meninggalkanmu karena akan berjalan menuju tujuan yang mereka capai, hanya ada sahabat sejati yang selalu mendukungmu, namun mungkin tidak bisa berusaha banyak karena ia juga akan menempuh jalan yang baru. Kemudian kamu kembali ke masa yang indah, saat orangtua mencintaimu dengan tulus, mereka lah yang selalu mendukungmu, berusaha untukmu hingga seperti saat ini, namun mereka hanya bisa menaruh harapan kepadamu nantinya akan menjadi apa, karena waktu terus berjalan dan mereka akan meninggalkanmu, walau tak ingin. Mereka bagai pemanah dan kamu panahnya.  Mereka membidik tujuan yang mereka capai untukmu namun kamu bisa saja tertancap kepada jalan yang salah, semua itu kembali kepadamu, Gus.” Ia menjelaskan dengan tersenyum sambil memainkan piano. Akupun terdiam.            
“Sebenarnya kakek ini siapa?”  Ia tidak menjawab dan langsung memegang kepalaku kembali dengan keras, dan berkata.           
“Kembalilah, percaya kepada mimpi.”

                                                                              ***            


“HAH!” Seketika aku terbangun dengan cepat. Aku masih bingung apa yang terjadi kepadaku. Kulihat kopi yang tinggal setengah dan sudah dingin, kemudian buku Sang Pemimpi yang masih terbuka. Jam menunjukkan pukul 1 lewat lima dini hari, akhirnya aku menyadari bahwa tadi aku tertidur. Namun aku merasakan mimpi yang aneh, namun cukup memberiku jawaban. Masih terdiam kini aku tersadar tentang mimpi. Terkadang hal-hal yang sepertinya tidak berarti memberikan jawaban dalam kehidupan. Aku bertemu kedua orangtuaku, sahabatku yang ternyata mereka memberikan ‘wasiat’. Aku jadi mengerti apa yang harus aku lakukan selanjutnya.Ternyata mimpi bukanlah sebuah omong kosong belaka, namun juga memberikan arti sendiri.  Aku percaya bahwa pria tua yang saya temui itulah hati nurani saya, yang sempat rapuh namun masih tetap memberikan usaha untuk memberikan jawaban, hingga akhirnya ia tersenyum setelah melakukan tugasnya. Namun itulah mimpi, selalu memberikan kejutan di setiap ketidakjelasannya.           


Ya aku bukanlah sosok Soekarno yang bisa mengambil hati rakyat Indonesia dengan kharismanya, atau mungkin aku bukan sosok Dilan yang bisa menaklukan hati seorang Milea. Namun aku adalah seorang yang sudah mengetahui tujuan yang jelas untuk kuliah dan karir aku selanjutnya. Aku akan melanjutkan perjalanan. 



                                                -------------------SELESAI----------------

 

 


Komentar

Postingan Populer